Hubungan cinta tidak selamanya berjalan mulus. Ada yang sukses hingga ke
jenjang pernikahan dan kemudian membuahkan anak. Namun lebih banyak hubungan
cinta yang berakhir prematur dengan kedua pihak kembali menjalankan
kehidupan lajangnya masing-masing. Ada yang berakhir baik-baik dengan
keduanya saling mengucapkan terima kasih dan masih menjadi teman dekat. Ada
pula yang berakhir tidak baik dengan keduanya saling mengucapkan sumpah
serapah dan berurai air mata. Bagaimanapun juga, hubungan cinta yang kandas
pasti sedikit banyak menimbulkan penderitaan bagi pihak-pihak yang terlibat
di dalamnya. Pihak mana sebenarnya yang paling menderita akibat putus cinta?

Prialah yang sebenarnya paling menderita, menurut David Zinczenko, kolumnis
majalah Men's Health. Ia menolak anggapan umum bahwa pria lebih tegar
daripada wanita dalam menghadapi putusnya hubungan percintaan. Apa saja
alasannya?

Pria Menyembunyikan Perasaannya. Ketika seorang pria diputuskan oleh
pasangannya, biasanya ia akan sesumbar: Biar saja, life still goes on.
Caranya? 26% pria yang mengisi survei online Men's Health melakukannya
dengan minum-minum bersama teman-temannya. 36% pria akan menatap mantan
pacarnya, tersenyum, dan mengucapkan terimakasih. Faktanya, kedua hal
tersebut dilakukan pria untuk menutup-nutupi perasaannya. Ini adalah reaksi
yang alamiah; gender pria dikondisikan masyarakat untuk tidak gampang
menunjukkan perasaan, apalagi perasaan yang membuatnya terlihat lebih lemah.
Namun represi ini juga berakibat sulitnya menghilangkan perasaan terluka,
marah, atau sedih dari dirinya. Sebaliknya, wanita yang putus cinta biasanya
langsung menangis (atau mengekspresikan emosinya) saat itu juga, dan wanita
juga cenderung lebih to-the-point ketika mengakhiri hubungan cinta. Akhirnya
mereka akan lebih cepat menghilangkan perasaan-perasaan negatif itu
dibandingkan pria.

Pria Punya Lebih Sedikit Teman Curhat. Salah satu alasan mengapa wanita
lebih cepat pulih dari penderitaan pasca putus cinta daripada pria adalah
karena wanita memiliki lebih banyak teman yang bisa diandalkan untuk
bercerita. Penelitian menunjukkan bahwa pria mengandalkan hubungan cinta
untuk mendapatkan kedekatan emosional dan dukungan sosial, sementara wanita
bisa mendapatkan hal yang sama dengan keluarga dan teman sesama wanita.
Begitu wanita mengalami putus cinta, ia akan bercerita kepada siapa saja,
kalau perlu kepada orang yang tidak dikenal yang duduk di sebelahnya di bis
umum, agar perasaannya bisa lebih enak. Pria, di sisi lain, cenderung lebih
enggan membuka diri untuk soal ini. Mungkin baru beberapa bulan kemudian,
ketika dalam keadaan setengah teler, baru ia berani bercerita kepada
teman-teman prianya mengenai betapa inginnya ia kembali lagi dengan si
mantan.

Pria Tidak Suka Memulai Dari Awal Lagi. Setelah putus cinta, pada awalnya
pria mungkin akan merasa semangat membayangkan wanita-wanita yang akan ia
kencani di masa depan. Namun setelah kencan yang keempat, kesembilan, atau
ketigabelas kalinya, barulah ia sadar kalau dibutuhkan usaha keras dan waktu
yang panjang untuk sampai pada tingkat keintiman yang pernah ia alami
bersama mantannya. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa wanita lebih mampu
menyesuaikan diri ketika hubungan berakhir karena sebelumnya mereka sudah
memikirkan adanya kemungkinan itu, sementara pria biasanya lebih tidak siap
dengan putus cinta. Perasaan nyaman secara emosional membuat pria merasa
beruntung bisa memiliki seseorang seperti dia. Sayangnya, hal ini seringkali
baru disadari ketika si dia sudah berubah status menjadi mantan pacar.

Gambaran Pacaran Pria Yang (Terlalu) Ideal. Banyak kasus putus cinta
merupakan reaksi sesaat atas apa yang dirasa sebagai kebosanan; bosan dengan
aktivitas, pembicaraan, dan pertengkaran yang itu-itu saja. Kalau kembali
melajang, pria mungkin merasa ia akan menjalani hidup yang lebih menarik;
tanpa komitmen, bebas pergi ke mana saja, dan bebas bergaul dengan
wanita-wanita yang bisa dijadikan pacar baru. Barulah ketika benar-benar
melajang ia sadar bahwa hidupnya tidak menjadi seperti itu, bahkan sekarang
waktunya tersita oleh pekerjaan. Ia pun kembali merindukan keintiman yang
dia alami pada masa pacaran dulu. Penelitian menunjukkan bahwa wanita lebih
tinggi skornya daripada pria dalam hal keintiman sosial, seksual, dan
intelektual. Dan biasanya wanita juga lebih cepat menyadari bahwa keintiman
adalah dasar dari hubungan yang tahan lama, dan bukannya sekedar variasi
aktivitas.

Menurut Zinczenko pula, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pria lebih
rentan mengalami stres, depresi, dan kecemasan ketika putus cinta
dibandingkan dengan wanita. Itu menurut dia. Bagaimana pendapat anda? Apakah
anda memiliki pengalaman yang membenarkan atau menyangkal pendapat ini?